Kabul (ANTARA) – Pemerintah Afghanistan dan perwakilan Taliban mencapai kesepakatan awal pada Rabu (2 Desember) untuk melanjutkan pembicaraan damai, perjanjian tertulis pertama mereka dalam 19 tahun perang dan disambut oleh Amerika Serikat sebagai kesempatan untuk menghentikan kekerasan.
Perjanjian itu menjabarkan jalan ke depan untuk diskusi tetapi dianggap sebagai terobosan karena akan memungkinkan negosiator untuk beralih ke isu-isu yang lebih substantif, termasuk pembicaraan tentang gencatan senjata, bahkan ketika serangan Taliban terhadap pasukan pemerintah Afghanistan terus berlanjut.
“Prosedur termasuk pembukaan negosiasi telah diselesaikan dan mulai sekarang, negosiasi akan dimulai dalam agenda,” kata Nader Nadery, anggota tim negosiasi pemerintah Afghanistan, kepada Reuters.
Juru bicara Taliban mengkonfirmasi perjanjian itu di Twitter.
“Sebuah komite kerja bersama ditugaskan untuk menyiapkan rancangan topik untuk agenda (pembicaraan damai),” kata pernyataan bersama dari kedua belah pihak.
Perjanjian itu muncul setelah berbulan-bulan pembicaraan di Doha, ibu kota Qatar, didorong oleh Amerika Serikat, meskipun kekerasan sedang berlangsung.
Gencatan senjata tetap menjadi tuntutan paling mendesak dari ibukota internasional dan Kabul, bahkan setelah Taliban menolaknya selama tahap awal pembicaraan.
“(Perjanjian itu) adalah langkah maju menuju dimulainya negosiasi tentang isu-isu utama, termasuk gencatan senjata komprehensif sebagai tuntutan utama rakyat Afghanistan,” kata juru bicara Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, Sediq Sediqqi, di Twitter, mengutip pemimpin Afghanistan.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengucapkan selamat kepada kedua belah pihak atas “ketekunan dan kesediaan untuk menemukan kesamaan”, dan menambahkan bahwa Amerika Serikat akan “bekerja keras dengan semua pihak dalam mengejar pengurangan kekerasan dan gencatan senjata yang serius”.